Bukan Bencana Alam, Tapi Bencana Perencanaan: Irigasi Rp5 Miliar Ambles di Lampung Barat
Ruangekspose.co.id-Lampung Barat — Infrastruktur bak irigasi senilai lebih dari Rp5 miliar yang baru dibangun di Pekon Tanjung Raya, Kecamatan Sukau, Lampung Barat, ambles sedalam 50 meter usai hujan deras mengguyur wilayah tersebut, Senin (14/07/2025) dini hari. Ironisnya, proyek ini belum sempat digunakan sama sekali oleh masyarakat.
Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh CV Bukit Pesagi dan dibiayai dari dana gabungan pemerintah provinsi dan kabupaten, proyek ini sebelumnya digadang-gadang sebagai solusi permanen untuk mengatasi banjir dan genangan air. Alih-alih memberi manfaat, bangunan justru ambruk — menimbulkan kekhawatiran, kerugian, dan pertanyaan besar tentang mutu serta proses pelaksanaannya.
“Saya sudah hibahkan lahan untuk proyek ini demi kepentingan umum. Tapi hasilnya malah menimbulkan ancaman ke rumah saya sendiri,” kata Parul, warga setempat yang lahannya mulai terdampak retakan tanah.
Kekecewaan lain juga disuarakan Robet, warga lainnya, yang menyebut proyek sejak awal sudah dipertanyakan oleh masyarakat karena lokasi pembangunan berada di atas bekas jurang yang diketahui labil dan memiliki mata air aktif.
“Ini bukan bencana alam. Ini bencana perencanaan buruk,” ujarnya tajam.
Disisi lain, pengawas proyek dari CV Bukit Pesagi, Andika, menyebut pihaknya sudah melakukan pengecekan kontur dan topografi. Ia menyalahkan intensitas hujan tinggi sebagai penyebab utama amblesnya bangunan.
Namun argumen itu justru memperlihatkan lemahnya analisis risiko di tahap awal. Dalam konstruksi infrastruktur, terlebih di area rawan longsor, mitigasi cuaca ekstrem dan kontur labil bukan sesuatu yang tak terduga — melainkan keharusan teknis mutlak.
Jika hal seperti ini masih saja terjadi, publik layak bertanya: apakah proyek ini dibangun dengan kajian ilmiah atau hanya berdasarkan dokumen formalitas demi mencairkan anggaran?
Amblesnya bak irigasi ini adalah contoh nyata gagalnya sistem pengawasan dan lemahnya integritas dalam proyek-proyek konstruksi daerah. Lebih dari sekadar bangunan fisik yang rusak, ini adalah potret buruknya proses dari hulu ke hilir: dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
Padahal, menurut UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan Permen PUPR No. 22 Tahun 2018, proyek harus memenuhi standar teknis, melibatkan tenaga ahli bersertifikat, dan melalui uji kelayakan menyeluruh.
Jika semua prosedur sudah dilakukan, kenapa bangunan bisa ambles sebelum digunakan? Jika belum dilakukan, mengapa proyek tetap berjalan? Dua pertanyaan ini harus dijawab dengan transparan oleh pemerintah dan kontraktor.
Apakah ini hanya persoalan teknis atau cerminan budaya kerja asal jadi demi mengejar target serapan anggaran?
Kasus ini tak bisa diselesaikan hanya dengan tambal-sulam. Warga meminta evaluasi total proyek, audit independen, dan pertanggungjawaban terbuka kepada publik. Jangan ada lagi proyek yang dibangun untuk runtuh, dan jangan ada lagi anggaran rakyat yang dihabiskan tanpa hasil.
"Kalau memang niatnya membangun, bangun dengan jujur. Jangan buat warga jadi korban pembangunan yang tak berpihak,” pungkas Robet.(Niel)
Tidak ada komentar