Polemik Perambah Hutan TNBBS Lampung Barat: Akademisi Disorot, Kebebasan Berpendapat Diuji
Ruangekspose.co.id - Lambar – Polemik terkait ultimatum 1x2 minggu untuk pembebasan dan pengusiran perambah hutan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) terus berlanjut.
Pernyataan Dr. Yunada Arpan, akademisi dari STIES Gentiaras Bandar Lampung, menuai kontroversi dan beragam respons dari berbagai pihak. Beberapa menilai pandangannya kurang memahami aspek hukum dalam permasalahan tersebut.
Saat dikonfirmasi, Dr. Yunada menegaskan bahwa pandangannya berlandaskan aspek sosial-ekonomi masyarakat, hak hidup, keadilan, serta hak asasi manusia. Ia mengajak semua pihak untuk mencari solusi yang tidak hanya berbasis hukum, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan sosial dan budaya.
"Merambah hutan memang dilarang, sudah ada undang-undangnya. Tetapi jika ini tetap terjadi, kita harus bertanya, ada apa? Tidak bisa hanya menyalahkan perambah. Jika selama puluhan tahun petugas tidak mampu melarang, berarti ada yang perlu dievaluasi," ujar Dosen di salah satu perguruan tinggi di Lampung itu.
Ia juga mengusulkan agar kebijakan ultimatum menunggu hingga musim panen kopi dalam dua bulan ke depan. Sementara itu, lahan yang baru ditebas atau tanaman muda tetap dilarang untuk dilanjutkan.
"Apakah kita ingin melihat warga yang sudah bermukim di kawasan ini tiba-tiba terusir dan tinggal di jalanan? Bahkan pengungsi Rohingya yang terdampar saja ditolong, sedangkan ini warga negara Indonesia," tegasnya.
Menanggapi kritik bahwa ia tidak memahami hukum, Dr. Yunada dengan santai menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi.
"Saya baca di beberapa media, ada yang bilang saya tidak paham undang-undang. Pertama, saya tidak ambil pusing. Kedua, mungkin mereka juga perlu memahami bahwa kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945," ujarnya.
Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jaminan ini diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta berbagai instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP).
"KIHSP menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat tanpa campur tangan serta hak atas kebebasan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima, dan memberikan informasi serta pemikiran dalam berbagai bentuk, termasuk lisan, tulisan, cetakan, karya seni, atau melalui media lainnya," jelasnya.
Mantan aktivis itu menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan bagian dari upaya mencerdaskan masyarakat.
"Dalam konteks ini, siapa pun—tokoh, akademisi, penggiat, bahkan mantan narapidana atau mantan pemeras—berhak berbicara. Maka, memahami undang-undang sangat penting agar masyarakat tidak dibungkam dan tetap mendapatkan pencerahan," pungkasnya.
Tidak ada komentar